Bermula dari Karmina Sampailah pada Jamilah
Ibarat sebuah pohon, bahasa adalah sebuah hasil budaya yang senantiasa berkembang. Adakalanya perkembangan itu masih menampakkan, masih menyimpan jejak bentuk asalnya. Namun, adakalanya perkembangan itu melesat cepat, hingga tak ada tilas yang dapat dilacak dengan segera.
Adakalanya perkembangan itu berjalan bagaikan jalannya seekor penyu di pasir pantai, pelan dan jelas jejaknya. Sebutlah sebuah contoh, perjalanan sebuah kata "bibi" yang makna dasarnya mengacu pada seorang perempuan adik ibu atau ayah kita. Entah seberapa panjang dan lama prosesnya, "bibi" berubah menjadi "bibik" yang mengacu pada seorang perempuan dengan profesi sebagai pembantu rumah tangga. Pikiran awam kita pun tergoda untuk menelusurinya. Barangkali begini kisahnya. Ketika hubungan antara para majikan dan pembantu terjalin mesra, ada upaya dari para majikan itu untuk menganggap para pembantu sebagai bagian dari keluarganya. Maka tidaklah sopan rasanya jika anak-anak para majikan itu memanggil para pembantu dengan "Yem", "Nah", atau pun "Jum". Namun, tidak mungkin pula bila mereka harus memanggil mereka "Bu", "Ibu", atau pun "Bunda". Jadi, harus dipilih sapaan lain yang memungkinkan. Dan, terpilihlah kata "bibi" untuk menyapanya, karena bagaimana pun juga posisi "Bibi" masih di bawah "Ibu". Bila kita menengok bahasa Jawa, kita bisa bertemu dengan kata "Bebek" (Jangan di baca sebagai unggas, tapi ucapkanlah bunyi be dalam kata itu sebagaimana mengucapkan huruf b) yang maknanya sama dengan bibi dalam bahasa Indonesia. Kata "bebek" ini pun sering digunakan sebagai sapaan untuk perempuan pada kelas yang lebih rendah. Seiring perjalanan waktu, pelan-pelan pengucapan kata "bibi" berubah menjadi "bibik" dan mengalami peyorasi. Maka, tidaklah heran bila para "bibi" yang sesungguhnya enggan menerima sebutan itu. Mereka lebih memilih sebutan "tante", dengan alasan lebih bergengsi tentunya.
Kita bisa membayangkan, mereke-reka perjalan "bibi" menjadi "bibik" (walaupun ada kemungkinan kita tersesat). Namun, bagaimana dengan perjalanan kata "secara" yang sangat ajaib itu. Kita biasa memaknai kata "secara" sebagai "dengan cara" atau "menggunakan cara". Akan tetapi, bisakah makna itu kita terapkan pada kata "secara" bila kalimatnya berbunyi "Secara, kita kan bukan bibik-bibik!" Entahlah apa makna "secara" dalam kalimat tersebut. Mungkin memang sudah zamannya, orang berbicara tak perlu memikirkan maknanya.
Bila kita berbicara tentang bahasa, seringkali kita ingin menyinggungkannya dengan sastra. Bahasa memang tidak identik dengan sastra, tetapi sastra tak bisa lepas dari bahasa, sebagaimana lukisan yang tak bisa lepas dari kanvas. Namun, sastra tidak hanya memanfaatkan bahasa lho. Sastra justru banyak memberikan sumbangan pada bahasa. Para sastrawan yang suka berbunga-bunga kata (atau kata berbunga-bunga?) ternyata telah memperkaya bahasa. Nah, mari kita bicara tentang sastra! Sastra yang ringan-ringan saja, yang ada dalam keseharian kita.
Siang itu, di kelas saya (saya guru, lho) ribut bukan main. Namun, tak seperti biasanya, saya justru bahagia dengan keributan anak-anak itu. Di pojok belakang ada yang tiba-tiba tertawa. Di bangku tengah ada yang tersipu-sipu mendengar komentar temannya "Kamu narsis juga". Tawa cekikikan tak putus-putus terdengar, di sela-sela kesibukan tangan-tangan mereka menuliskan sesuatu di buku mereka. Sedang apakah mereka? Bahagiakah mereka dari awal pelajaran? Tentu saja tidak!
Saat saya mengawali pembelajaran, justru ekspresi kecutlah yang saya lihat pada wajah anak-anak ketika saya mengajak mereka masuk pada materi pembelajaran puisi. Maklumlah, bagi sebagian besar anak-anak saya itu, puisi lebih membingungkan dari pada matematika, lebih memusingkan daripada rumus-rumus kimia (kadangkala saya menikmatinya lho. Ah, kejam nian diriku). Apalagi kalau puisi itu dari kelompok puisi lama, semakin dalamlah lipatan-lipatan pada kening mereka. "Jangankan makna puisinya, Bu, arti katanya saja kami tak paham," barangkali kalimat itu yang ingin mereka suarakan jika saya menyodorkan puisi-puisi dari zaman baheula kepada mereka. Nah, itu pulalah yang terjadi di awal pembelajaran siang itu.
Siang itu saya ingin menjadi guru yang baik hati. Saya ingin segera menghilangkan kerut-kerut di wajah anak-anak saya, dan menggantikannya dengan senyum ceria, dengan tawa gembira. "Jangan khawatir anak-anakku sayang, puisi kita kali ini tidak memusingkan. Puisi kita kali ini akan menyenangkan, akan menggembirakan." Kurang lebih begitulah kalimat saya jika diubah dalam versi mesra, versi Bunda Muslimah. "Kita akan berkreasi menciptakan pantun dengan berbagai bentuknya". "Yaaah, susah Bu!" Serempak mereka berteriak. Ah, tampaknya cita-cita saya tidak segera terkabul siang itu.
Singkat cerita, saya menjelaskan pada anak-anak itu, bahwa saat ini pantun tidaklah harus berbahasa Melayu. Karena jika demikian, matilah pantun itu, seperti matinya gurindam, seperti mandeknya peribahasa. "Kalian tidak harus menggunakan bahasa Melayu, karena pantun bukan hanya milik orang Melayu. Orang Jawa pun punya pantun, mereka menyebutnya dengan pari'an. Pantun milik kita bersama, gunakan bahasamu dalam pantunmu. Asalkan masih menggunakan pola pantun, maka jadilah karya kalian itu pantun," demikian uraian saya untuk mereka. Wajah mereka masih berkerut. "Buah duku buah kedondong, jangan begitu dong," saya pancing mereka dengan kalimat itu. Mereka tertawa, "Ibu gaul juga," kata mereka. "Nah, tidak susah 'kan membuat pantun?" Mereka bengong, pantun kok hanya dua baris. Pantun 'kan terdiri dari empat baris dan bersajak ab ab, barangkali itu yang mereka pikirkan. "Pantun memang empat baris, bersajak ab ab, ada sampiran dan isi, tapi ada juga pantun kilat, terdiri atas dua baris, bersajak aa. Namanya karmina, cantik ya namanya." Anak-anak manggut-manggut, mulai tersenyum, mungkin sudah terbayang karmina di benaknya. "Nah, sekarang tunjukkan kemampuan kalian, buatlah pantun, buatlah karmina. Mari berbalas pantun, berbalas karmina!"
Maka riuhlah anak-anak itu, Ada senyum, ada tawa, ada ledekan. Dari meja guru, saya mendengar sebuah karmina "Ada gula ada semut, gak nyangka saya imut", yang disambut dengan tawa dan teriakan "Narsis, narsis!" dari teman-temannya. Tiba-tiba saya mendengar celetukan, "Ya iya lah, masak ya iya dong/ Mulan aja Jamilah, masak Jamidong." Celetukan disambut tawa, lalu menghadirkan diskusi seru diantara mereka, apakah kalimat yang sedang jaya itu pantun kilat atau bukan, karmina, atau bukan.
Saya tertarik juga untuk mengotak-atik kalimat itu. "Ya iya lah, masak ya iya dong/ Mulan aja Jamilah, masak Jamidong." Yang jelas ada persamaan bunyi, iya lah dengan Jamilah, iya dong dengan Jamidong. Bukankah permainan persamaan bunyi itu unsur penting dalam pantun dan karmina? Benar, tetapi pantun dan karmina juga memiliki pola hubungan antar baris, yaitu sampiran dan isi. Sampiran hadir lebih awal, isi hadir sesudahnya. "Ada gula ada semut" adalah sampirannya, rangkaian bunyi pemancingnya, "gak nyangka saya imut" adalah isinya, maksud sesungguhnya yang ingin disampaikan. Nah, pada "Ya iya lah, masak ya iya dong/ Mulan saja Jamilah, masak Jamidong" pola itu dibalik. Isi hadir lebih dulu, sampiran menyusul. Kreatif bukan? Dan kreativitas berikutnya pun muncul mengiringi kejayaan Jamilah. Sekarang ada sekolah versus sekodong, seolah-olah versus seodong-odong, bahkan duren yang dibelah, atau lebih memilih dibedong? Apakah kreativitas ini menyimpang dari dunia sastra? Tentu beraneka ragam jawabannya, tergantung dari sudut pandang mana ia dilihat.
Kreativitas apa lagikah yang akan kita nikmati pada kekayaan bahasa dan sastra kita?
Kita nantikan saja, atau mungkin kita pun perlu berpartisipasi dalam pengembangan dan pengayaan bahasa dan sastra kita. Pilihan selalu terbuka buat kita.
Adakalanya perkembangan itu berjalan bagaikan jalannya seekor penyu di pasir pantai, pelan dan jelas jejaknya. Sebutlah sebuah contoh, perjalanan sebuah kata "bibi" yang makna dasarnya mengacu pada seorang perempuan adik ibu atau ayah kita. Entah seberapa panjang dan lama prosesnya, "bibi" berubah menjadi "bibik" yang mengacu pada seorang perempuan dengan profesi sebagai pembantu rumah tangga. Pikiran awam kita pun tergoda untuk menelusurinya. Barangkali begini kisahnya. Ketika hubungan antara para majikan dan pembantu terjalin mesra, ada upaya dari para majikan itu untuk menganggap para pembantu sebagai bagian dari keluarganya. Maka tidaklah sopan rasanya jika anak-anak para majikan itu memanggil para pembantu dengan "Yem", "Nah", atau pun "Jum". Namun, tidak mungkin pula bila mereka harus memanggil mereka "Bu", "Ibu", atau pun "Bunda". Jadi, harus dipilih sapaan lain yang memungkinkan. Dan, terpilihlah kata "bibi" untuk menyapanya, karena bagaimana pun juga posisi "Bibi" masih di bawah "Ibu". Bila kita menengok bahasa Jawa, kita bisa bertemu dengan kata "Bebek" (Jangan di baca sebagai unggas, tapi ucapkanlah bunyi be dalam kata itu sebagaimana mengucapkan huruf b) yang maknanya sama dengan bibi dalam bahasa Indonesia. Kata "bebek" ini pun sering digunakan sebagai sapaan untuk perempuan pada kelas yang lebih rendah. Seiring perjalanan waktu, pelan-pelan pengucapan kata "bibi" berubah menjadi "bibik" dan mengalami peyorasi. Maka, tidaklah heran bila para "bibi" yang sesungguhnya enggan menerima sebutan itu. Mereka lebih memilih sebutan "tante", dengan alasan lebih bergengsi tentunya.
Kita bisa membayangkan, mereke-reka perjalan "bibi" menjadi "bibik" (walaupun ada kemungkinan kita tersesat). Namun, bagaimana dengan perjalanan kata "secara" yang sangat ajaib itu. Kita biasa memaknai kata "secara" sebagai "dengan cara" atau "menggunakan cara". Akan tetapi, bisakah makna itu kita terapkan pada kata "secara" bila kalimatnya berbunyi "Secara, kita kan bukan bibik-bibik!" Entahlah apa makna "secara" dalam kalimat tersebut. Mungkin memang sudah zamannya, orang berbicara tak perlu memikirkan maknanya.
Bila kita berbicara tentang bahasa, seringkali kita ingin menyinggungkannya dengan sastra. Bahasa memang tidak identik dengan sastra, tetapi sastra tak bisa lepas dari bahasa, sebagaimana lukisan yang tak bisa lepas dari kanvas. Namun, sastra tidak hanya memanfaatkan bahasa lho. Sastra justru banyak memberikan sumbangan pada bahasa. Para sastrawan yang suka berbunga-bunga kata (atau kata berbunga-bunga?) ternyata telah memperkaya bahasa. Nah, mari kita bicara tentang sastra! Sastra yang ringan-ringan saja, yang ada dalam keseharian kita.
Siang itu, di kelas saya (saya guru, lho) ribut bukan main. Namun, tak seperti biasanya, saya justru bahagia dengan keributan anak-anak itu. Di pojok belakang ada yang tiba-tiba tertawa. Di bangku tengah ada yang tersipu-sipu mendengar komentar temannya "Kamu narsis juga". Tawa cekikikan tak putus-putus terdengar, di sela-sela kesibukan tangan-tangan mereka menuliskan sesuatu di buku mereka. Sedang apakah mereka? Bahagiakah mereka dari awal pelajaran? Tentu saja tidak!
Saat saya mengawali pembelajaran, justru ekspresi kecutlah yang saya lihat pada wajah anak-anak ketika saya mengajak mereka masuk pada materi pembelajaran puisi. Maklumlah, bagi sebagian besar anak-anak saya itu, puisi lebih membingungkan dari pada matematika, lebih memusingkan daripada rumus-rumus kimia (kadangkala saya menikmatinya lho. Ah, kejam nian diriku). Apalagi kalau puisi itu dari kelompok puisi lama, semakin dalamlah lipatan-lipatan pada kening mereka. "Jangankan makna puisinya, Bu, arti katanya saja kami tak paham," barangkali kalimat itu yang ingin mereka suarakan jika saya menyodorkan puisi-puisi dari zaman baheula kepada mereka. Nah, itu pulalah yang terjadi di awal pembelajaran siang itu.
Siang itu saya ingin menjadi guru yang baik hati. Saya ingin segera menghilangkan kerut-kerut di wajah anak-anak saya, dan menggantikannya dengan senyum ceria, dengan tawa gembira. "Jangan khawatir anak-anakku sayang, puisi kita kali ini tidak memusingkan. Puisi kita kali ini akan menyenangkan, akan menggembirakan." Kurang lebih begitulah kalimat saya jika diubah dalam versi mesra, versi Bunda Muslimah. "Kita akan berkreasi menciptakan pantun dengan berbagai bentuknya". "Yaaah, susah Bu!" Serempak mereka berteriak. Ah, tampaknya cita-cita saya tidak segera terkabul siang itu.
Singkat cerita, saya menjelaskan pada anak-anak itu, bahwa saat ini pantun tidaklah harus berbahasa Melayu. Karena jika demikian, matilah pantun itu, seperti matinya gurindam, seperti mandeknya peribahasa. "Kalian tidak harus menggunakan bahasa Melayu, karena pantun bukan hanya milik orang Melayu. Orang Jawa pun punya pantun, mereka menyebutnya dengan pari'an. Pantun milik kita bersama, gunakan bahasamu dalam pantunmu. Asalkan masih menggunakan pola pantun, maka jadilah karya kalian itu pantun," demikian uraian saya untuk mereka. Wajah mereka masih berkerut. "Buah duku buah kedondong, jangan begitu dong," saya pancing mereka dengan kalimat itu. Mereka tertawa, "Ibu gaul juga," kata mereka. "Nah, tidak susah 'kan membuat pantun?" Mereka bengong, pantun kok hanya dua baris. Pantun 'kan terdiri dari empat baris dan bersajak ab ab, barangkali itu yang mereka pikirkan. "Pantun memang empat baris, bersajak ab ab, ada sampiran dan isi, tapi ada juga pantun kilat, terdiri atas dua baris, bersajak aa. Namanya karmina, cantik ya namanya." Anak-anak manggut-manggut, mulai tersenyum, mungkin sudah terbayang karmina di benaknya. "Nah, sekarang tunjukkan kemampuan kalian, buatlah pantun, buatlah karmina. Mari berbalas pantun, berbalas karmina!"
Maka riuhlah anak-anak itu, Ada senyum, ada tawa, ada ledekan. Dari meja guru, saya mendengar sebuah karmina "Ada gula ada semut, gak nyangka saya imut", yang disambut dengan tawa dan teriakan "Narsis, narsis!" dari teman-temannya. Tiba-tiba saya mendengar celetukan, "Ya iya lah, masak ya iya dong/ Mulan aja Jamilah, masak Jamidong." Celetukan disambut tawa, lalu menghadirkan diskusi seru diantara mereka, apakah kalimat yang sedang jaya itu pantun kilat atau bukan, karmina, atau bukan.
Saya tertarik juga untuk mengotak-atik kalimat itu. "Ya iya lah, masak ya iya dong/ Mulan aja Jamilah, masak Jamidong." Yang jelas ada persamaan bunyi, iya lah dengan Jamilah, iya dong dengan Jamidong. Bukankah permainan persamaan bunyi itu unsur penting dalam pantun dan karmina? Benar, tetapi pantun dan karmina juga memiliki pola hubungan antar baris, yaitu sampiran dan isi. Sampiran hadir lebih awal, isi hadir sesudahnya. "Ada gula ada semut" adalah sampirannya, rangkaian bunyi pemancingnya, "gak nyangka saya imut" adalah isinya, maksud sesungguhnya yang ingin disampaikan. Nah, pada "Ya iya lah, masak ya iya dong/ Mulan saja Jamilah, masak Jamidong" pola itu dibalik. Isi hadir lebih dulu, sampiran menyusul. Kreatif bukan? Dan kreativitas berikutnya pun muncul mengiringi kejayaan Jamilah. Sekarang ada sekolah versus sekodong, seolah-olah versus seodong-odong, bahkan duren yang dibelah, atau lebih memilih dibedong? Apakah kreativitas ini menyimpang dari dunia sastra? Tentu beraneka ragam jawabannya, tergantung dari sudut pandang mana ia dilihat.
Kreativitas apa lagikah yang akan kita nikmati pada kekayaan bahasa dan sastra kita?
Kita nantikan saja, atau mungkin kita pun perlu berpartisipasi dalam pengembangan dan pengayaan bahasa dan sastra kita. Pilihan selalu terbuka buat kita.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapuskayak majalah kite??
BalasHapus