cerpen: Kisah Sajadah



KISAH SAJADAH HIJAU ADIK AUFAR

        Sajadah biru milik abang Syawal dan sajadah merah milik ayah sudah senyum-senyum gembira. Seperti biasa Ayah akan melaksanakan shalat Jumat di masjid dan abang Syawal pasti akan ikut juga. Melihat kegembiraan sajadah biru dan merah, sajadah hijau tampak tak senang,
     “Enak, ya, kamu… sajadah biru dan merah, sering dibawa sholat ke masjid. Sedangkan aku, jarang sekali. Aku lebih sering berada di keranjang ini sendirian. Sajadah merah milik ayah pergi, sajadah kuning milik ibu juga sering dipakai. Cuma aku saja yang sering di keranjang ini!”  Sajadah hijau mulai merajuk menyampaikan isi hatinya.
          Tiba-tiba pintu kamar terbuka, Abang Syawal sudah rapi dengan baju kokonya, siap ke masjid. Diambilnya sajadah biru, dilipat dengan rapi.
    “Yah, sajadah ayah sudah Abang ambilkan!” suara Abang yang meninggalkan kamar semakin membuat sajadah hijau bersedih. Ia menangis meratapi kesendiriannya .
     “Jangan nangis hijua….’kan masih ada aku, temanmu,” bujuk sajadah kuning.
    “Kamu enak kuning, ibu memang jarang ke masjid, tapi sebentar lagi kamu juga dipakai ibu sholat, kamu tetap dipakai ibu sholat!”
Rengek  sajadah hijau lagi, “Aku selalu jadi penghuni keranjang ini, adik Aufar nakal!”
     “Lho, kok adik Aufar yang nakal. Adik Aufar masih kecil, belum mengerti!” sajadah kuning memberikan pengertian, “ Anak kecil seperti adik Aufar memang belum wajib untuk sholat. Adik Aufar baru mulai belajar sholat mencontoh ayah, ibu, dan abang Syawal.”
    “Sudahlah! kamu tidak mengerti apa yang aku rasakan!” sajadah hijau membentak.
    “Lebih baik aku tak ada daripada tidak berguna seperti ini!” tambah hijau semakin marah.
     “Lho, kamu tidak boleh berkata begitu hijau, ucapanmu itu berisi keinginan yang tidak baik. Seharusnya kita bersyukur menjadi sajadah seperti ini. Allah menciptakan kita untuk berguna bagi manusia.” Kuning yang bijaksana mencoba menasehati. Tapi hijau malah cemberut kesal.
      Suatu hari sajadah hijau berada di tempat yang gelap dan , “Ah, bau apa ini? Aku ada di mana?” sajadah hijau mencoba menerka-nerka.” Sepertinya aku tidak di dalam keranjang lagi? Waduh, banyak debu lagi. Aku di mana ya? Gelap sekali! Sepi lagi! Ke mana teman-temanku?” 
     Samar-samar sajadah hijau mendengar suara Ayah, Ibu, abang Syawal dan adik Aufar. Tapi suara mereka terdengar jauh. Ia hanya mendengar suara tanpa bisa melihat. Sajadah hijau semakin bingung dan mulai ketakutan. Pikirannya jadi kacau.
     “Ah, jangan-jangan aku sudah dibuang ke tempat sampah karena aku tak berguna. Semua ini gara-gara adik Aufar yang tidak pernah mengajakku sholat. Aku jarang dipakai sholat, aku lebih banyak imain-mainkan oleh adik Aufar! Aku benci adik Aufar! Aku ingin seperti sajadah biru, merah, dan kuning yang selalu dibawa ke masjid. Selalu dipakai sholat. Selalu dijadikan alas untuk bersimpuh dan bersujud kepadaNya. Adik Aufar menyebabkan aku tak berguna!” sajadah hijau menangis menyesali nasibnya.
       Waktu berjalan terasa lama sekali bagi hijau yang sendirian, sepi, gelap, dan berdebu. Akhirnya hijau menagis dan lirih berkata,” Mungkin ini hukuman buatku. Aku ingat nasehat kuning kemarin, aku pernah berharap tidak pernah ada. Kini terbukti, aku menyesal. Maafkan aku teman-teman, aku tak mendengar nasehat kalian. .”
     Kini hijau mulai menyadari segala perbuatan dan ucapannya yang tidak baik. Tapi, tidak ada yang dapat dilakukannya sekarang selain menangis dan berdoa, “Ya, Allah ampuni aku. Berilah kesempatan padaku untuk menjadi sajadah yang berguna bagi manusia. Biarkan aku menjadi sajadah kecil milik adik Aufar yang masih kecil, yang baru belajar sholat. Amin,” demikian doa hijau dengan khusu.
       Sementara itu di dalam keranjang, sajadah biru, merah, dan kuning mulai mencari-cari hijau  ” Merah, ke mana hijau? Sejak tadi aku tidak melihat?” tanya biru mulai khawatir.
     Merah menjawab, “Tidak lihat sejak kemarin siang. Jangan –jangan dibawa adik Aufar sholat?’’
     “Setahuku tidak!”jawab biru menanggapi, “Lihat merah, kuning juga tidak ada!”
     “Berarti hijau bersama kuning di kamar ibu,”jawab merah menyimpulkan.
     “Ya, mudah-mudahan saja,”biru mencoba menenangkan dirinya.
      Tiba-tiba adik Aufar berlari masuk ke kamar, kemudian isi keranjang dikeluarkan mencari-cari sesuatu, lalu mulut kecil adik Aufar bergumam,”ndak ada, ndak ada, ilang, .ilang” 
     Tak lama ibu muncul dan berdiri di pintu,”Dek, ada tidak sajadahnya?”tanya ibu pada adik Aufar yang masih membongkar lipatan, sajadah.
     Adik Aufar menggeleng,”Ndak ada…Bu, di mana? “tanya adik.
      “Kemarin waktu sholat ashar, adik bawa sajadah hijau ‘kan? Terus, sajadahnya adik main-mainkan, di ajak bobo ke kasur sambil mimi susu, terus…..ibu ndak tahu lagi , karena ibu sholat, dede ndak ikut sholat sampai selesai ‘kan?” Ibu mencoba mengingatkan kejadian sebelum sajadah hilang.
     Mendengar itu adik Aufar diam, tapi matanya bergerak-gerak mencoba mengingat juga. Lalu adik Aufar terenyum dan berkata,’’ Iya, Bu…dede tahu sekalang. Sajadah jatuh kolong. Ayo kita cari, Bu, cari!”
      “Merah, kau dengar percakapan Ibu dan adik Aufar tadi? Berarti hijau hilang!”    kata biru pada merah
     “Kasihan sekali hijau, sekarang dia berada di kolong tempat tidur! Kalau Ibu dan adik Aufar tidak dapat menemukan hijau, bagaimana?  Hijau pasti sedih sekali. Hijau pasti sekarang sedang menangis!” tambah kuning yang juga mulai mengeluarkan titik air matanya.
     Ketiga sajadah akhirnya berdoa bersama-sama untuk keselamatan sajadah hijau, “Semoga hijau dapat ditemukan.”
      Adik Aufar berlari ke kamar ibu, lalu tiarap di lantai memcoba melihat sekeliling kolong tempat tidur. “Gelap,ndak liatan.”  
     Tiba-tiba Ibu sudah ikut tiarap sambil memegang senter lalu senter diarahkan ke sekeliling kolong tempat tidur,” Itu dia sajadah hijaumu, Dek.” Ibu mencoba agak masuk ke kolong dan berhasil mendapatkan sajadah hijau. Adik Aufar sangat senang dan memeluk sajadahnya.
     Tapi ibu segera mengingatkan, “De, sajadahnya kita cuci dulu, ya. Lihat nih, banyak debunya.Nanti kalau sudah bersih baru dipakai lagi.”
      Adik Aufar mengangguk tanda mengerti,”Iya, Bu, terima kasih sajadah Dede sudah ketemu.” Adik Aufar tersenyum gembira, lalu memeluk Ibu.
     “Sekarang Ibu mau tanya, sajadah ini untuk apa?” tanya ibu lembut.
     “Untuk sholat” jawab adik Aufar.
     “Kalau begitu sajadah ini tidak boleh dimain-mainkan lagi. Nanti hilang lagi, Dede ndak punya sajadah untuk sholat.” Nasehat Ibu.
     Adik Aufar mengangguk tanda mengerti,” Iya, Bu, nanti Dede sholat ke masjid ikut ayah dan Abang Syawal, bawa sajadah hijau ini.”
      Akhirnya, kini sajadah hijau telah kembali bersama teman-temannya.
“Teman-teman, maafkan aku, ya. Selama ini aku tidak mendengar nasehat kalian. Memang benar adik Aufar masih kecil, belum mengerti kewajiban sholat.. Aku sekarang tidak marah lagi bahkan aku bersyukur karena bisa menjadi teman adik Aufar sampai mengerti kewajiban sholat.” Hijau menyesali perbuatannya.
      Mendengar perkataan hijau, sajadah merah, biru, dan kuning jadi terharu dan ikut bahagia karena kini hijau telah mengerti dan kembali berkumpul bersama lagi.
                                      **************************

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artikel: Perjalanan Spiritual Sutardji Calzoum Bachri Berawal dari O Amuk Kapak

Puisi "Pengabdian Tanpa Titik"

Cerpen: Bumi Dipijak Langit Dijunjung