Cerpen: Bumi Dipijak Langit Dijunjung



BUMI  DIPIJAK  LANGIT  DIJUNJUNG
                Lin yakin dengan sikapnya selama ini benar. Prinsipnya ini bahkan harus bertentangan dengan keluarga besarnya.
“Papa…, Lin tetap akan masuk IKIP, Lin mau jadi guru Bahasa Indonesia” Lin berusaha untuk menghadapi papanya dengan tenang.
“Jadi guru?? Lalu siapa yang akan meneruskan usaha papa? Kamu anak tertua yang papa harapkan melanjutkan usaha papa. Kenapa Cuma mau jadi guru??? Papa gak ngerti jalan pikiranmu! Apa yang kamu harapkan dari gaji guru??
Papa bisa punya rumah mewah, mobil bagus, usaha maju, tanah luas, semua ini bukan karena jadi guru! Tapi karena usaha, dagang, bisnis! Apa yang kamu harapkan dari gaji guru, Hah!” suara papa semakin tinggi. “Lagipula kita ini orang Cina, keturunan pedagang, bisnis, bukan keturunan guru!’
Lin hanya memandang papanya dengan tatapan kosong.
“Jawab, Chi! Jawab! Apa yang kamu harapkan dari gaji seorang guru!” Papa meggebrak meja yang ada di hadapannya, suara papa semakin meninggi, sehingga mengagetkan Lin yang diam membisu.
Kali ini Lin berani menatap mata papanya. “Pa, Lin memang tidak mengharapkan harta berlimpah dari gaji seorang guru ,Pa. Tidak! Tapi ini sudah mejadi cita-cita. Alasannya datang dari sini, Pa, dari hati.” Jawab Lin sambil menunjuk dadanya sendiri. “Alasan ini gak bisa digantikan dengan uang,Pa! Tidak harus, keturunan Tionghoa jadi pedagang. Zaman sudah berubah,Pa. Sekarang orang seperti kita boleh jadi guru, tidak ada larangan. Kita orang Indonesia bukan orang Cina, Papa jangan lupa itu!” Lin menjawab dengan lantang.
Mendengar jawaban Lin, papa langsung meninggalkan ruang tamu dengan marahnya.
                   Mama yang sedari tadi mendengarkan pertengkaran dari ruang tengah hanya bisa diam. Setelah Papa pergi, mama menghampiriku.
“Chi, maafkan mama ya, mama gak bisa membujuk papamu, sayang.” Kata mama. Lin tahu cuma mama yang bisa mengerti jalan pikiranya ini. Papa,Engkong, juga Om dan tantenya tak ada yang bisa memahaminya.
“Gak kenapa,Ma. Lin tahu, tapi mama setuju kan? Lin Cuma mengharapkan doa dan restu dari mama saja.” Lin mencium tangan mamanya sambil menangis. Mama merengkuh Lin dalam pelukannya.
“Iya, mama doakan dan restui cita-citamu,Chi. Pasti….nanti mama coba bujuk lagi papamu, ya.” Mama membelai-belai  dan mencium kepala Lin. Ada kesejukan yang meresap ke dalam hati Lin. Kedamaian dan perlindungan yang tulus dari seorang ibu yang sangat dicintainya. Kedamaian yang mampu mengkokohkkan cita-citanya untuk menjadi guru.
                “Selamat pagi, Bu Lin,” sapa anak-anak yang sedang dudud di serambi kelas. Bu Lin tersenyum membalas sapaan mereka. “Selamat pagi juga, anak-anak. Sedang apa kalian? Kelihatannya sedang asyik, ya.?” Bu Lin bertanya .
“Iya, Bu, ini sedang membahas ulangan kemarin, Bu. Antara saya dan Yuda berbeda pendapat,Bu.” Bu Lin hanya tersenyum mendengar jawaban anak-anak.
“Untuk sementara tidak apa-apa beda pendapat, nanti kalian tanyakan lagi dengan Pak Handoyo. Yang penting kalian jangan sampai berkelahi,ya. Sudah ya, ibu mau lanjut ke kantor.”
“Iya, Bu. Terima kasih, Bu Lin.” Jawab anak-anak kompak.
Setelah Bu Lin sudah agak jauh, anak-anak mulai membicarakan Bu Lin.
 “Eh, teman-teman, Bu Lin itu baik,ya, perhatian lagi.” Kata Yuda sambil mengunyah martabaknya.”
“Iya, yang paling aku suka dari Bu Lin, cara ngajarnya juga enak, gak bikin ngantuk, bisa langsung masuk kepala kita, gak seperti guru Bahasa Indonesia yang dulu, siapa namanya?” tambah Dea.
Si Kribo, Rebo langsung menyambar, “Aku juga lupa, namanya, tapi ingat gak julukannya?? BU CATAT!!!” Kontan yang lain tertawa terbahak-bahak mendengar celotehan Si Kribo, Rebo.
“Iya, bener, tiap datang CATAT!!…..terus…. penjelasannya cuma sedikit, gimana kita mau ngerti! Tiba-tiba ulangan! Nilai kita jeblok semua, deh.” Asep yang sedari tadi diam ikut bicara.
“Sejak Bu Lin mengajar, aku jadi suka pelajaran Bahasa Indonesia, jadi menarik gitu,lho.” Asep menambahkan.
Dea langsung menambahkan,”Iya, kegiatan eskul jurnalistik dan sanggar sastra yang dibimbing Bu Lin juga jadi ramai, banyak peminatnya, termasuk kita-kita, kan?”
“Ah, bukan cuma pelajarannya yang jadi menarik, Bu Lin juga menarik, cantik, euy…masih single lagi.” Si Kribo Rebo memuji Bu Lin.
Mendengar pujian Rebo, yang lain kompak. “Huuuuu dasar!”
“Udah bel tuh, yo masuk!” ajak Dea pada yang lain.
                    “Bu Lin, selamat, ya.” kepala sekolah memberikan ucapan selamat pada Bu Lin.  Dengan penuh keheranan Bu Lin ragu-ragu menerima jabatan tangan dari Pak Akur.
 “Selamat apa ya, Pak Akur. Saya jadi bingung, nih.”
“Mari ke ruangan saya, nanti saya jelaskan.”
“Begini ,Bu Lin. Ada penghargaan bagi guru-guru yang berprestasi. Selama tiga tahun mengajar di sini, Bu Lin sudah banyak berprestasi. Mulai dari keberhasilan membimbing eskul jurnalistik dan sanggar sastra yang sering tampil dan meraih juara. Selain itu anak-anak yang dibimbing Ibu untuk mengikuti kegiatan lomba Karya Ilmiah juga banyak yang mendapat penghargaan mulai tingkat kota, propinsi, sampai nasional. Ditambah lagi hasil uji kompetensi guru-guru seluruh SMA yang ada di kota ini, ternyata Bu Lin peringkat satu. Jadi, Bu Lin berhak mendapatkan bea siswa untuk  melanjutkan studi S2 di IKIP Jakarta yang dibiayai oleh pemerintah,” Pak Akur menjelaskan.
Bu Lin yang sabar menunggu penjelasan Pak Akur menjadi tak percaya dengan berita yang baru saja didengarnya. Matanya berkaca-kaca. Rasa bahagia dan haru serta kebimbanngan menyergap hatinya.
“Benar Pak Akur?” tanya Bu Lin masih tak percaya.
“Benar Bu Lin, masa untuk masalah begini saya bercanda,sih. Ini surat dari Diknas propinsi. Silakan dibaca, keterangan lainnya mengenai hal-hal administrasi  yang harus diselesaikan juga ada di sini. Sekali lagi selamat ya, Bu Lin. Semoga ini bisa menjadi teladan yang baik baik rekan guru yang lainnya.
Lin masih setengah percaya. Surat di tangannya bertuliskan “Yth. Meilin Kurniawati,S.Pd.” basah oleh air mata yang menetes dari matanya.
                  Di kamar rumah kosnya yang tidak terlalu besar tetapi tertata dengan apik dan bersih, Lin, membenahi barang-barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Pikirannya menerawang jauh. Keberangkatannya ke Jakarta akan membuka lembaran yang sudah lama mulai terlupakan karena kesibukan mengajar . Orang yang sebenarnya ia rindukan, orang yang sebenarnya ia sayangi. Orang tua yang angkuh pada prinsipnya yang sudah tidak relevan di mata anak-anaknya bahkan lingkungannya. Papa yang menginginkan anak-anaknya meneruskan bisnis orang tuanya seperti kebanyakan dilakukan keluarga keturunan Tionghoa. Lin masih ingat betul bagaiman papanya marah besar karena Lin lebih memilih sekolah negeri daripada sekolah swasta yang mayoritas anak-anak keturunan Tionghoa. Lin sadar betul bahwa ia Warga Negara Indonesia, ia ingin berbaur dengan semuanya. Lin tidak suka, Lin tidak senang, bahkan Lin tidak setuju jika keturunan Tionghoa harus bergaul dengan sesamanya saja. Lin lahir dan dibesarkan di Indonesia. Makan,minum, pakaian, dan semuanya dari tanah Indonesia. Lin sudah jatuh cinta dengan kemolekan negeri katulistiwa ini. Bagaimana mungkin Lin merasa menjadi “orang Cina” sementara dengan negara Cina saja tak pernah tahu. Tak pernah Lin menginjakkan kaki ke negeri Cina. Bahasa Mandarin pun tidak terlalu pandai karena jarang dipakai. Jadi, bagaimana mungkin Lin merasa menjadi “Orang Cina”. Papa….. ya, keluarga besarnya ada di Jakarta. Tak terasa sudah tiga tahun Lin berada di kota ini. Sudah tiga tahun Lin tak berjumpa keluarga besarnya. Selama ini hanya dengan mamanya saja Lin berkomunikasi melalui telepon atau internet. Kabar terakhir yang Lin dapat dari mamanya, papa sering sakit-sakitan. Usaha dan bisnis papa dijalankan oleh Om Liem,adik papa. Hanya Om Liem tampaknya yang dapat meneruskan usaha keluarga. Sementara adik Lin satu-satunya, Surya juga tak berminat dalam bidang ekonomi dan bisnis, tetapi lebih tertarik pada bidang seni,terutama musik dan melukis.
                  Lin baru teringat bahwa beberapa hari lagi adalah tahun baru imlek.  Dalam kesendiriannya, sudah tiga tahun Lin tak pernah merayakan merayakan imlek. Ornament oriental dengan dominasi warna merah menghiasai jalan-jalan dan berbagai tempat. Suasana Imlek juga terasa ketika memasuki stasiun Gambir. Imlek kali ini memang tampak lebih meriah, sejak reformasi hingga perayaan imlek menjadi libur nasional seperti sekarang. Lamunan Lin melayang ke masa-masa kecil ketika imlek menjadi hari yang sangat membahagiakan dan ditunggu. Lin sangat senang jika diajak ke mal untuk membeli ornament , hiasan, atau perlengkapan ibadah untuk menyambut imlek.  Di teras depan atau belakang rumah akan penuh dengan lampion warna-warni. Hal yang paling menggembirakan ketika membuat pohon angpau, karena angpau-angpau itu akan diisi dengan uang yang jumlahnya yang bervariasi. Lin serta adiknya, biasanya akan mendapat angpau yang paling besar rupiahnya. Malam hari keluarga besar bekumpul, makan bersama. Mereka juga akan ke Klenteng untuk sembayang. Waktu itu papa masih belum marah pada Lin. Di Mata Lin papa adalah sosok yang sangat disiplin, teguh pendirian tetapi dekat dengan anak-anaknya, papa juga senang melawak jika sudah berkumpul.
               Tapi sejak Lin mulai mempunyai prinsip yang bertentangan dengan papanya, jarak semakin merenggang. Lin ingat betul ketika tamat SMP, Lin tidak mau masuk sekolah pilihan papa, tapi lebih memilih masuk SMA negeri. Papa marah sekali. Sampai sekarang Lin masih belum memahami pikiran papa. Lin masih belum tahu mengapa papa seperti itu. Setiap kali Lin ingin menjelaskan atau bicara dengan papanya, setiap kali pula papanya tidak bersedia atau menghindar. Papa selalu berkata,”Sudahlah, kalau papa jelaskan kamu tak akan mengerti atau tak akan mengubah keputusanmu kan? Jadi, tak ada gunanya!”
                Rumah besar yang ditinggalkan tiga tahun lalu belum berubah banyak. Pagar besi yang tinggi sudah berganti warna menjadi kuning emas. Pohon mangga besar di bagian samping rumah masih rindang. Ornamen Imlek sudah tampak sejak di halaman depan. Lin memandangi sekeliling. Jejeran pot lingkar berisi anggrek mulai mengering tak ada satu pun yang berbunga, tampaknya sudah cukup lama tidak dirawat. Lin juga tidak melihat pot-pot besar berisi anthurium atau aglonema di dekat pintu masuk, kini berganti dua buah patung dan bunga plastic. Ah, pasti papa tidak sempat lagi merawatnya karena sakitnyakah? Ku lihat mama sudah menyambut di depan pintu. Keduanya tak dapat membendung air mata kerinduan dan kegembiraan pertemuan ini. Ada sedikit keraguan melihat suasana rumah yang sunyi. Mama langsung membimbing Lin ke kamar. Ya.. papa terbaring di tempat tidurnya. Melihat kehadiran Lin,  papa berusaha bangun untuk duduk. Melihat itu secara refleks Lin maju membantu papa. Mata mereka saling beradu…lama…lalu papa merengkuh Lin dalam pelukannya. Tak ada kata..hanya air mata. Lama sekali……
                 “Maafkan papa, Chi. Papa sadar ternyata sebenarnya sifatmu sama dengan papa. Teguh pendirian, yakin dengan keputusan yang sudah di ambil. Selama ini mama selalu menceritakan di mana dan bagaimana kamu selama di Bandung. Apalagi sekarang kamu mendapat bea siswa kuliah S2 di sini. Papa senang dan bangga sekali, ternyata kamu dapat membuktikan prinsipmu..”
“Chi juga minta maaf, Papa, karena sudah melawan papa.”
“Chi chi tidak salah. Sikap papa terhadapmu karena masa lalu. Ah, seharusnya papa tidak melampiaskan kemarahan masa lalu papa padamu.”
“Masa lalu apa,Pa?” Tanya Lin penuh rasa ingin tahu.
Mama yang duduk di samping papa akhirnya ikut bicara, “Biar mama saja yang jelaskan, Pa. Dulu papa mendapat kesulitan ketika ingin mengurus kewarganegaraan. Keluarga mama dan papa sudah ada di Indonesia ini sejak lama, sejak zaman Belanda datang mungkin keturunan kita sudah menetap di Indonesia. Tapi ketika papa ingin megurus kewarganegaraan menjadi WNI banyak hambatan dan halangan. Bahkan tidak sedikit yang sinis dan mempersulit.  Waktu itu usaha papamu masih dirintis jadi kami masih serba kekurangan. Kami dihina sebagai “Cina Melarat” karena tak bisa membayar sogokan atau uang pelicin yang besar agar surat-surat kewarganegaraaan kami selesai. Sejak itu papamu jadi antipati dengan orang pribumi. Karena kami tidak punya surat-surat yang lengkap, setiap langkah papamu untuk berdagang selalu banyak rintangan. Usaha papamu akhirnya bisa maju seperti sekarang karena mendapat pinjaman dari saudara papa yang ada di China, bukan pinjaman dari bank. Setelah bertahun-tahun surat-surat kewarganegaraan akhirnya bisa diurus, tapi tetap saja degan biaya yang sangat mahal. Rasa sakit hati papamu akhirnya ,dilampiskan kepadamu karena kamu selalu menentang keinginan papa. “ mama mengahkiri penjelasannya.
                    “Lin,sekarang mengerti. Tapi,Pa, Ma, zaman sudah berubah. Kita ini lahir di Indonesia. Makan dan minum dari bumi Indonesia. Bahkan di rumah dan lingkungan kita lebih banyak berbahasa Indonesia daripada Mandarin. Kebebasan keturunan Tionghoa tidak seperti dulu. Kita sudah diakui sebagai bagian dari kekayaan suku bangsa Indonesia. Jika orangJawa bisa menjalanan adat dan tradisinya, kita juga bisa.  Usaha papa bisa maju juga karena ada pegawai dan konsumen orang Indonesia juga. Yah, yang lalu biarlah berlalu. Yang penting bagaimana sekarang dan yang akan datang. Chi jadi teringat sebuah pepatah, “Di mana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung” kata Lin meyakinkan orang tuanya.
 “ O,ya , papa lupa, Chi Chi sekarang guru Bahasa Indonesia, pantas saja pandai berperibahasa.” Kata papa menggoda.
Hati Lin bahagia sekali. Semoga awal tahun tikus ini membawa kebahagiaan dan kedamaian buat keluarganya.
(**Retno, Bontang, Januari 2008**)
(Cerpen ini di publikasikan dalam buku Kumpulan Cerpen Terbaik, Loma Menulis Cerpen 2008, Perhimpunnan Indonesia Tionghoa DKI Jakarta)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Artikel: Perjalanan Spiritual Sutardji Calzoum Bachri Berawal dari O Amuk Kapak

Puisi "Pengabdian Tanpa Titik"